Anak Buruh Tani, Mendapat Tawaran Beasiswa ke Belanda

Namanya Angga Dwi Tuti Lestari. Wajah gadis berjilbab ini diliputi rona kebahagiaan. Angga yang beralamat di Cibuk Lor 1, Margoluwih, Sayegan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ini berhasil menjadi lulusan terbaik dari Universitas  Sebelas Maret Solo.

Dia lulus dengan nilai Indeks Prestasi 3,98 saat diwisuda, Sabtu 14 Juni 2014.
Angga yang biasa disapa Eng adalah mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas  MIPA dari jalur beasiswa Bidikmisi yang khusus diperuntukkan untuk mahasiswa pintar dan berprestasi tetapi berasal dari keluarga kurang mampu.

256064_angga-dwi-tuti_663_382

Dara  kelahiran 21 Februari 1992 ini memang berasal dari keluarga tak mampu. Bapaknya, Supriyanto, bekerja sebagai buruh tani. Sementara ibunya,Sugiyanti, hanya sebagai ibu rumah tangga.

“Bapak itu menggarap sawah milik tetangga sama milik simbah. Jadi nanti kalau panen sistemnya bagi hasil,” ujar Eng.

Namun latar belakang ekonomi keluarga tidak menjadikan niat Eng untuk menempuh pendidikan tinggi surut. Bapaknya yang hanya lulusan SMP dan ibunya yang juga tak lulus SD memicu semangat Eng agar menjadi anak yang bisa dibanggakan bagi keluarga.

“Bapak ibu itu membimbing dan mendidik saya dan kakak dalam kondisi ekonomi yang kurang. Bahkan kakak saya itu tidak melanjutkan kuliah karena terbentur ekonomi. Tetapi karena kakak saya pinter, setelah lulus dari SMKN 2 Jetis, Yogyakarta langsung dipanggil kerja di Kalimantan, ” ujarnya.

Eng mengakui meski dalam kondisi ekonomi yang kekurangan tak membuatnya menjadi anak yang menuntut macam-macam kepada orang tuanya. Ia justru bersedia membantu orangtuanya saat bekerja di sawah.

“Dulu itu pas SMP (SMP 1 Godean), sehabis sekolah pasti membantu bapak ibu bertani di sawah. Tetapi saat SMA (SMAN 1 Yogyakarta), ibu melarang saya membantu di sawah. Karena ibu takut nilai prestasi saya turun, ” ungkap Eng.

Eng sedikit menceritakan orangtuanya mengajarkan laku prihatin jika ingin menggapai cita-citanya. Ia mengaku orangtuanya juga mengajarkan untuk puasa Senin-Kamis.

“Kalau bapak dan ibu selalu tahajud berjamaah setiap malamnya. Kalau saya puasa Senin-Kamis dan tahajud., ” katanya.

Kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan justru membuat Eng bersyukur. Tempaan kondisi ekonomi, membuatnya bisa mengecap prestasi. Eng sejak SD hingga kuliah selalu berprestasi.

“Saya itu bersyukur dengan bimbingan bapak dan ibu. Bapak dan ibu itu tidak pernah memberikan kado ketika saya juara. Tapi saya sama ibu dan bapak cuma dibelikan mie ayam. Tradisi jajan mie ayam saat juara satu itu masih berlangsung hingga sekarang. Bahkan saat meraih IPK 3,98 itu juga dibelikan mie ayam, ” kenang Eng.

Oleh sebab itu, Eng mencoba untuk menerapkan pola hidup sederhana seperti yang dilakukan orangtuanya. Terlihat saat dirinya menimba ilmu di Universitas Sebelas Maret. Hanya dengan bekal uang Rp 600 ribu/bulan dari beasiswa Bidikimisi dan uang saku Rp 50 ribu/bulan dari orangtuanya, Eng mampu menyelesaikan kuliahnya.

“Ya, dengan uang Rp 650 ribu tiap bulan harus dicukup-cukupin. Biasanya saya menyisihkan uang Rp 100 ribu tiap bulan untuk ditabung. Sisanya untuk makan sama untuk kebutuhan menyelesaikan tugas, ya seperti ngeprint paper. Kalau untuk transportasi, saya tidak membutuhkan, karena saya jalan kaki dari kost sampe kampus, ” ungkapnya.

Jualan Es

Uang tabungan yang disisihkan Eng dipergunakannya untuk membangun usaha kecil-kecilan. Dengan modal Rp 1 juta, Eng berjualan es jus di dekat SMP 1 Godean. Usaha kecil-kecilannya itu sudah membuahkan hasil. Selain bisa menerima untung sekitar Rp 200 ribu-Rp 500 ribu, Eng juga memiliki karyawan.

“Dulu itu pernah punya karyawan tiga. Tetapi karena saya konsentrasi kuliah, sekarang tinggal satu. Saya menggaji karyawan itu sekitar Rp 500 ribu. Sebenarnya awalnya jualan es jus ini adalah untuk membantu tetangga yang kebetulan membutuhkan biaya sekolah anaknya. Akhirnya tetangga itu kini yang berjualan. Ya itung-itung bisa membantu orang, ” kata Eng.

Diakui Eng, es jus jualannya ini  memang laris. Lantaran ia menawarkan es jus dengan bahan buah organik. Buah ini diambilnya dari tetangga rumahnya yang menanam buah-buahan di depan rumah. Menurutnya, buah-buahan yang ditanam di depan rumah adalah produk organik.

“Karena itu kan, kalau ditanam di depan rumah, pasti pupuknya yang alami. Seperti pupuk kandang. Mereka nggak akan menggunakan pupuk kimia, karena harganya akan lebih mahal, ” katanya.

Pengalamannya dalam berjualan jus buah organik itu lah yang bisa membuatnya ikut konferensi internasional dalam bidang lingkungan di Jerman tahun 2013 lalu. Lewat paper berjudul “One Student One Tree,” Eng bisa berbaur dengan ratusan mahasiswa dari 35 negara.

“Mungkin Jerman memilih saya karena saya sudah menerapkannya. Saya sangat senang dengan apresiasinya saat saya memaparkan paper ini, ” ujarnya.

Ke Belanda

Kini selepas lulus dari kuliah, Eng mengurus pendaftaran untuk melanjutkan jenjang ke strata dua di University of Leiden, Belanda. Ia mendapatkan tawaran beasiswa dari Lembaga Pengelola Lembaga Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI.

“Kalau biasanya mahasiswa melamar untuk mendapatkan beasiswa itu, tetapi saya ditawari. Karena nilai IPK saya tinggi. Tetapi ini masih nunggu proses seleksi. Nanti fixed-nya bulan September. Kalau lolos ya, kuliahnya tahun depan, ” jelas Eng yang setiap akhir pekan mengajar di Taman Pendidikan Alquran (TPA) di desanya.

Rencananya Eng yang fasih berbahasa Inggris ini akan mengambil Jurusan Plant Biology and Natural Product. Eng memiliki cita-cita menjadi dosen dan pengusaha. Alasannya kalau cita-cita dosen karena ingin mengembangkan ilmu. Sedangkan pengusaha untuk mengembangkan ekonomi masyarakat.

“Bagi saya, yang penting adalah berusaha yang terbaik. Nanti tinggal Allah yang menjawabnya, ” kata dia. (ren)

Sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/513518-anak-buruh-tani-lulus-dengan-ipk-3-98

Loading